Kamis, 07 April 2011

HAKEKAT ISRA MIRAJ


                                             “ISRA MI’RAJ” BUKAN “ISRAILIYYAT”      
( Telaah Kritis Yang Mencerahkan Atas Peristiwa Isra Mi’raj )
M. Rifka. Munawar

Beberapa saat nanti kita akan memperingati Isra-Mi’raj nabi besar Muhammad SAW, dimana peristiwa ini terjadi pada saat-saat kesedihan Nabi SAW, karena meninggalnya dua pelindung beliau, istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abi Thalib. Sehingga perjalanan ini merupakan suatu pelipur lara dari tahun kesedihan Nabi SAW. Disamping itu, dari sudut keagamaan, perjalanan Isra ini pun bermakna lambang risalah baru yang diberikan kepada umat manusia. Maha suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang disekitarnya telah kami berkati, untuk kami perlihatkan kepadanya beberapa tanda kami. Dialah yang maha mendengar, maha melihat (segalanya). QS. Al-Isra (17):1.

Dalam setiap peringatan “Isra Mi’raj” tidak pernah terlewatkan keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menembus langit ketujuh. Keterangan ini tak terbantahkan lagi karena termuat dalam kitab suci. Dilukiskan bahwa Nabi SAW telah melihat malaikat Jibril as untuk kedua kalinya didekat pohon Sidrat al-Muntaha (yaitu suatu alam ruhani tempat malaikat beribadat) yang pohon itu sendiri berada didekat surga tempat kediaman abadi (QS. Al-Najm/53:14-16). Kemudian, semua keterangan menjelaskan bahwa Sidrat al-Muntaha itu berada di atas langit yang ketujuh, bersebelahan (secara metafor) dengan singgasana (arasy) Allah. Dan memang untuk mengukuhkan iman itulah salah satu hikmah peristiwa suci ini. Maka sebagaimana diterangkan oleh para ahli tafsir, Sidrat al-Muntaha ialah  lambang kebijakan tertinggi dan terakhir yang dicapai seorang manusia  pilihan, yang tidak teratasi lagi, karena tidak ada kebijakan yang lebih tinggi dari itu. Jadi jika Nabi SAW telah sampai ke Sidrat al-Muntaha, artinya ialah Nabi telah mencapai kebijakan atau wisdom tertinggi yang pernah di karuniakan Tuhan kepada hamba atau mahluk-Nya. Nabi pun menerangkan bahwa dibalik pohon sidrah itu ada misteri yang hanya Allah yang tahu.

Makna simbolik lain pohon sidrah ialah kerindangan dan keteduhan, jadi melambangkan kedamaian dan ketenangan. Maka salah satu kualifikasi kebahagiaan tertinggi ialah kedamaian (salam), sehingga surga pun dilukiskan sebagai Dar al-Salam (baca: Darus-Salam), yakni “Negeri Kedamaiaan”, dan jiwa yang bahagia dipanggil sebagai “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthma’innah). Jadi jika Nabi SAW telah sampai ke Sidrat al-Muntaha, berarti beliau telah mencapai tingkat kedamaian, ketenangan dan kemantapan batin (Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Hal.110).

Kemudian Isra’iliyyat yang dalam bahasa ibrani: ISRA berarti “Hamba/pilihan dan IL berarti “Allah”. Secara terminologis, Isra’iliyyat berarti “riwayat kaum Yahudi dan Nasrani pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat”. Istilah Isra’iliyyat banyak ditemukan dalam pembahasan tafsir dan hadis.

Defenisi lain dikemukakan oleh Muhammad Husain az-Zahabi (ahli tafsir Universitas Al-Azhar. Cairo, Mesir). Bahwa Isra’iliyyat merupakan kebudayaan Yahudi dan Nasrani yang dipelihara secara berkesinambungan dan berpengaruh dalam penafsiran Al-Qur’an atau sunah. Gambaran mengenai kebudayaan Yahudi dan Nasrani ini meliputi etika, kisah, sejarah, hukum dan hikayat yang ada dalam masyarakat serta penjelasan dari injil. Disamping itu, termasuk juga dalam Isra’iliyyat ialah berbagai tradisi, nasihat dan penjelasan yang diriwayatkan dari Nabi Musa AS, secara tidak tertulis yang  diterima masyarakat Yahudi secara turun-temurun.

Isra’iliyyat mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW sejak jaman para sahabat. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat berpegang sepenuhnya pada penjelasan Rasulullah SAW dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Setelah Rasulullah SAW wafat, jika para sahabat memerlukan penafsiran ayat yang berkaitan dengan kisah umat masa lalu, sedangkan penjelasan Rasulullah SAW tidak ada dalam masalah itu, mereka menanyakannya kepada para sahabat yang dahulunya beragama Yahudi dan Nasrani. Namun demikian para sahabat ini dalam memberikan penjelasan tidak terlepas dari pengaruh agama dan kebudayaan mereka dahulu (Yahudi dan Nasrani). Bahkan ada diantara mereka yang sengaja memasukkan unsur Yahudi dan Nasrani dalam penjelasannya.

Dari pengantar diatas, peristiwa Isra Mi’raj wajar dikritisi, tentu karena ada pertentangannya, secara fiqih, mazhab maupun pandangan. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, terbitan PT. ICTIAR BARU VAN HOEVE JAKARTA, hal. 1536, tentang Sejarah Pensyariatan Salat, dijelaskan: menurut ahli fiqih, salat diwajibkan kepada umat islam pada malam hari ketika Rasulullah SAW melakukan “Isra Mi’raj”, yaitu lebih kurang satu tahun sebelum hijrah. Akan tetapi, menurut ulama mazhab Hanafi, kewajiban salat itu ditetapkan pada malam hari ketika Nabi Muhammad SAW melakukan Isra, yaitu malam jum’at tanggal 10 Ramadhan, satu setengah tahun  sebelum hijrah. Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa tanggalnya adalah 27 rajab, satu setengah tahun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah.

Pernyataan bahwa salat itu disyariatkan pada malam Isra dan Mi’raj didasarkan atas sejumlah hadis, diantaranya dari Anas bin Malik: “Difardhukan atas Nabi Muhammad SAW pada malam Isra sebanyak lima puluh kali, kemudian dikurangi sampai lima kali. Kemudian Rasulullah diseru: Ya Muhammad, sesungguhnya ucapan-Ku tidak pernah berubah, dan kewajiban engkau dari yang lima puluh kali salat ini adalah lima kali” (HR. Ahmad bin Hambal, an-Nasai dan at-Tirmizi). Dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dikatakan: “Allah memfardhukan atas umatku dimalam Isra sebanyak lima puluh kali salat, dan saya berulang kali menemui-Nya untuk memohon keringanan sehingga dijadikan lima kali sehari semalam”.

Keumuman yang sama dalam literatur (peristiwa Isra Mi’raj) diatas, juga dapat kita temui dalam Ensiklopedi Islam, PT. ICHTIAR BARU VAN HOEVE, hal. 233. Adapun yang hendak atau dapat kita kritisi bersama adalah apa yang telah banyak diriwayatkan, melalui Anas bin Malik beserta para Imam mazhab sunnah (Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hambal, an-Nasai dan at-Tirmizi) diatas jika diikhtiarkan dengan pandangan Ahlul Bait yang dalam hemat penulis sebagai telaah kritis atas peristiwa Isra Mi’raj sehingga menjadi topik yang mencerahkan. ” Kesempurnaan sikap moderat adalah kemauan menerima apa yang memadai. Jika bukan untuk didiskusikan, perbedaan mazhab akan menjadi kebodohan belaka”. (Imam Ali as) dalam, Sejarah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, hal.303, oleh Syaikh al-Mufid.

Menurut mazhab Ahlul Bait (Syiah Imamiyah Isna Asyariyah) yang dinisbahkan kepada Imam Jafar as-Shadiq AS, Panduan Shalat Dalam Mazhab Ahlul Bait, Kajian Ilmiah dari Al-Qur’an, Hadis dan Fatwa, Diterbitkan oleh Yayasan Islam Al-Baqir, hal.79-82; dijelaskan bahwa shalat dalam sehari semalam dari sejak awalnya ditetapkan (selain malam-malam Ramadhan) sebanyak lima puluh satu rakaat, berbeda yang dianggap oleh kebanyakan orang, bahwa pada saat penetapan shalat terjadi tawar-menawar (dalam jumlah rakaat) antara Nabi SAW dengan Allah SWT. yang kandungannya Nabi SAW berharap untuk meringankan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah SWT, karena menurut Nabi Musa AS, jumlah tersebut terlampau berat buat umat Muhammad. Benarkah hal tersebut demikian?

Mungkinkah Allah SWT menetapkan suatu perintah yang tidak dapat dilakukan oleh hamba-Nya (memberatkan)? Pemahaman semacam itu (tawar-menawar) berarti menganggap Allah SWT bersikap zalim terhadap hamba-Nya. Sedangkan ayat menjelaskan; “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. 2:185).

Jelas bahwa pemaksaan suatu bentuk pekerjaan terhadap orang melebihi kemampuannya berarti zalim. Dengan demikian hadis yang menjelaskan terjadinya tawar-menawar tersebut perlu diseleksi kembali, karena hadis tersebut tergolong hadis-hadis “Israiliyat”. Pengertian ini dapat kita ketahui dari beberapa segi:

Pertama, hadis tersebut berusaha menjatuhkan Nabi Muhammad SAW dan menonjolkan Nabi Musa AS, dengan penjelasan bahwa Nabi Musa AS, lebih mengetahui kelemahan umat Nabi Muhammad SAW dari Nabi Muhammad SAW sendiri, padahal tidak demikian halnya. Bagaimana mungkin Allah SWT memberikan jabatan kenabian kepada Muhammad SAW untuk suatu kaum yang Rasulullah SAW dilahirkan dari kaum itu, tetapi tidak mengerti akan kaumnya sendiri? Pengertian seperti itu dengan tanpa melihat akan adanya dalil-dalil yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “Afdholul Ambiya”. Mustahil Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang paling diutamakan dan di unggulkan (Manusia paripurna dan manusia sediakala, Pen.) ternyata masih mendapat teguran dari orang yang berbeda otoritas (golongan Nabi yang bermakmum, Pen.)

Kedua, tidak mungkin Nabi akan merasa berat dengan apa yang ditentukan Allah SWT padanya, karena Dialah Allah yang lebih mengetahui akan kemampuan hamba-Nya, dan pada kenyataannya Allah SWT selalu memberikan kemudahan dan keringanan terutama dalam syariat, kemudian manusia yang dibebani tugas itu adalah manusia pilihan-Nya sendiri, yang pasti tahan terhadap segala suasana, maka mustahil Beliau SAW akan merasa berat dengan tugas barunya. Penjelasan yang kedua ini tersimpulkan dalam satu ayat yang berbunyi: “Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang ditetapkan Allah baginya, sebagai ketetapan-Nya untuk para nabi-Nya yang terdahulu. (QS. Al-Ahzab 38).

Ketiga, tawar-menawar biasanya terjadi antara orang yang mempunyai level sama, sedangkan perintah dari atasan tidak mungkin memerlukan tawar-menawar lagi, apalagi yang memerintahkan adalah pencipta alam semesta yang maha agung, yang maha mengetahui akan kemampuan hamba-Nya, yang tidak mungkin keliru.

Keempat, tawar-menawar terjadi dalam hal-hal yang belum pasti untung ruginya, lain halnya akan sesuatu yang sudah pasti menguntungkan, maka tidak mungkin akan terjadi penawaran lagi. Allah SWT menetapkan perintah shalat bukan berarti ingin mendapatkan keuntungan dari shalat yang akan dilaksanakan hamba-Nya, atau rugi apabila perintah shalat itu ditinggalkan oleh hamba-Nya, maha suci Allah dari pengertian itu. Allah SWT tidak akan membutuhkan sesuatu dari hamba-Nya yang lemah. Allah SWT menetapkan shalat adalah untuk keuntungan manusia itu sendiri.

Mestinya, bagi mereka yang menyadari keutamaan shalat justru meminta tambahan, bukan pengurangan. Sebab makin banyak amalan, makin banyak pula pahalanya dan makin tinggi derajatnya disisi Allah SWT.

Baginda Rasul yang mulia SAW. bersabda bahwa lima puluh rakaat shalat, yang beliau disebut sebagai sunnahnya, terdiri atas shalat wajib dan nafilah (jamaknya: nawafil). Selain shalat-shalat yang diwajibkan (17 rakaat sehari semalam), dan ada shalat-shalat yang disunahkan (34 rakaat dalam shalat sunah rawatib/nawafil) untuk sehari semalam, yakni: dua rakaat sebelum subuh, delapan rakaat sebelum dhuhur, delapan rakaat sebelum ashar, empat rakaat setelah maghrib dan dua rakaat ghufailah, dua rakaat setelah isya dilakukan sambil duduk  dihitung satu rakaat, kemudian delapan rakaat shalat malam (selalu ditambah dua rakaat syafa/penyempurna  sepuluh rakaat) dan satu rakaat witir. (Mungkin agar mudah kita fahami mengenai 51 rakaat nafilah adalah: 2 rakaat qablia subuh, 8 rakaat qablia zhuhur, 8 rakaat qablia ashar, 6 rakaat ba’dia maghrib,  2 rakaat ba’dia isya dilakukan dengan duduk terhitung satu rakaat, dan 8 rakaat shalat malam “qiyam al-laill” ditambah 1 rakaat witir, Pen.)

Dalam keterangan, Rasul Allah SAW, tidak menyebutkan dua rakaat setelah shalat isya ini, sekalipun beberapa hadis lain menunjukan bahwa beliau menunaikan ‘atamah (dua rakaat setelah shalat isya yang dilakukan sambil duduk), karena lima puluh rakaat itulah yang merupakan sunnah mu’akadah (yang ditekankan), seperti diisyaratkan oleh riwayat Ibn Abi ‘Umair berikut ini: (Ibn Abi ‘Umair) berkata, “Aku bertanya kepada Imam Ja’far AS, mengenai sebaik-baik shalat sunnah. Beliau menjawab, “Yaitu menunaikan lima puluh (rakaat) itu”. Keterangan secara khusus mengenai ‘atamah (dua rakaat sambil duduk) sebenarnya adalah shalat witir yang ditunaikan sebelum masanya karena (ikhtiari, Pen.) khawatir akan kematian yang sudah dekat masanya, karena beberapa hadis lain menyatakan bahwa orang yang menunaikannya sebelum kematiannya adalah seperti orang yang mati setelah menunaikan shalat witir. Namun, apabila waktu shalat witir tiba, dua rakaat ini tidak dapat menggantikannya. Prinsipnya, barangkali yang paling baik adalah menunaikan lima puluh rakaat, dan dua rakaat ini merupakan suatu sunnah yang tidak mu’akad, dan diperintahkan demi mewaspadai saat kematian agar jumlahnya tidak terkurangi.

Imam Ja’far as-Shadiq AS, berkata: “pengikut kami adalah ahli wara, pekerja keras, ahli amanah, tepat janji, ahli zuhud, dan ahli ibadah. Ia selalu melakukan shalat 51 rakaat di siang dan malam, bangun dimalam hari, puasa disiang hari, membersihkan hartanya, pergi ke haji, dan menjauhi setiap yang haram”.

Rasulullah SAW, bersabda: “Barangsiapa yang melakukan salat sunah  sesudah magrib enam rakaat, maka diampunkan segala dosanya”. Hal ini didasarkan pada surah al-Isra (17) ayat 25, yang berarti: “Maka sesungguhnya, Dia maha pengampun bagi orang-orang yang bertobat”. 

Imam Ja’far AS, juga memerintahkan, “Dirikanlah shalat tahajud karena ia adalah sunah Nabi kalian dan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian serta (dapat) menghilangkan penyakit dari tubuh-tubuh kalian”.Ketika menukil firman Allah SWT, harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia (QS. Al-Kahfi:46), Imam Ja’far berkata, “Delapan rakaat di akhir malam dan shalat witir merupakan perhiasan akhirat dan Allah akan mengaruniakan keduanya bagi sebagian orang”.

Imam Ali bin Musa Rida AS berkata, Ketika mengomentari ayat yang mererangkan, Dan mereka mengada-adakan Rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah. (QS. Al-Hadid:27), Beliau AS, berkata “Rahbaniyyah dari kaum tersebut adalah shalat tahajud”. Imam Ali bin Musa Rida AS, juga mengatakan “Kalian hendaknya (melakukan) shalat tahajut karena tidak ada seorang hamba yang berdiri di akhir malam, (melakukan) shalat delapan rakaat, dua rakaat shaf, serta satu rakaat witir, dan meminta ampunan Allah SWT dalam qunutnya 70 kali, kecuali ia akan selamat dari azab kubur dan siksa neraka serta dipanjangkan umurnya dan diluaskan kehidupannya. Sesungguhnya rumah-rumah yang didalamnya didirikan shalat tahajut, cahanya akan menerangi penduduk langit seperti  cahaya bintang-bintang yang menerangi penduduk bumi”. Riwayat para imam Ahlul Bait ini dinuki daril Buku, Maka Bertahajutlah Berdua Dengan Tuhan, Penerbit AL-HUDA, hal.55-66).

Ketika kita membincangkan shalat, alangkah baiknya kalau sidang pembaca yang budiman menelaah juga apa yang telah ditetapkan sebagian orang tentang sesuatu yang dijadikan oleh islam sebagai tanda masuknya waktu shalat (adzan) pada saat permulaan islam, dan bagaimana riwayat kejadiannya? Ada hadis yang enak untuk dijadikan bahan kajian yang (non Syiah, Pen.) menyangkut tentang itu, yang riwayatnya sudah terkesan diabsahkan dan telah banyak diketahui oleh sebagian besar dalam mayoritas umat islam dan dalam banyak buku yang beredar, yang kandungannya sbb: hadis diriwayatkan oleh Abu Daud dari Muhammad bin Abdillah bin Zaid bin Abdu Robbuh dari ayahnya Abdillah bin Zaid beliau berkata: “Saat Rasulullah SAW memerintahkan untuk membuat tambur yang ditabuh agar orang-orang berkumpul untuk melakukan shalat bersama. Aku bermimpi ada seorang membawa tambur ditangannya lewat dihadapanku. Aku bertanya padanya: Hai hamba Allah apakah engkau ingin menjual tambur itu? Dia menjawab: Akan engkau gunakan untuk apa? Untuk memberitahu orang-orang akan masuknya waktu shalat dan mengajak mereka untuk melakukan shalat bersama! Dia berkata apakah engkau ingin aku beritahu cara yang lebih baik daripada itu? Aku jawab: Ya! Ucapkan: Allahu Akbar...sampai akhir bacaan adzan yang sering kita dengar. Kemudian dia menghindar tidak jauh dariku dan berkata: Kalau engkau hendak melakukan shalat ucapkan Allahu Akbar...sampai akhir ucapan iqomat. Saat aku terjaga dipagi hari (kata Abdillah bin Zaid) aku hampiri Rasulullah dan aku ceritakan apa yang telah kuimpikan. Beliau SAW berkata: Impian yang benar. Berdirilah bersama Bilal, biarkan Bilal yang mengumandangkan adzan dan bisikan padanya apa yang telah engkau impikan saat dia berkumandang, karena suaranya lebih merdu dari suaramu. Kemudian aku berdiri bersama Bilal dan aku bisikan apa yang telah kuimpikan, dan Bilal menyuarakan dengan apa yang kubisikan padanya. Suara itu terdengar oleh Umar bin Khattab saat beliau dirumahnya, beliau bergegas keluar dan mendatangi Rasulullah SAW dengan memakai rida’nya (surban berbentuk selendang), beliau berkata dihadapan Rasulullah SAW: Demi yang mengutusmu dengan kebenaran. Wahai Rasulullah, aku telah impikan apa (kalimat) seperti yang telah (dimpikan) dikumandangkan. Rasulullah SAW berkata: Segala puji bagi Allah”. (Rujuk pula Ensiklopedi Islam, PT. ICHTIAR BARU VAN HOEVE, Bait Adzan, Hal. 242, dengan cerita yang sama namun berbeda karena disebutkan Lonceng bukan Tabuh, Pen).
       
 Hadis tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa satuan kalimat-kalimat adzan terajarkan lewat mimpi seorang sahabat, hebat nian sahabat itu dalam menghafal satuan kalimat dalam impiannya yang begitu panjang! Mengapa impian itu terjadi pada seseorang yang kebenaran impiannya masih membutuhkan suatu penetapan dari Rasulullah SAW? Mengapa tidak pada Rasul sendiri yang seluruh impiannya adalah wahyu? Kejadian yang sangat penting ini mengapa pengajarannya lewat impian? Kalau perintah shalat (QS. Hud: 114, Pen.) dari Allah SWT dan tanda masuknya waktu telah diajarkan.

Mengapa Allah SWT membiarkan Rasulnya tidak mengetahui kalimat apa yang sesuai untuk mengajak orang agar mereka berkumpul untuk melakukan shalat bersama dan membiarkan beliau kelabakan mencari sesuatu yang dapat dijadikan untuk itu, sehingga Beliau sampai melakukan segala sesuatu yang biasa dipakai oleh lawan Islam saat itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya? Apa ada pemisahan sejak sediakala antara ajaran shalat atau masuknya waktu shalat dengan adzan? Mengapa sahabat dimata mereka begitu menonjol melebihi Rasul? Ataukah hadis ini hanyalah sisipan israiliyat untuk mengenyampingkan martabat Rasulullah SAW?

Dengan adanya beberapa pertanyaan diatas, alangkah baiknya kalau kita sama-sama menetapkan bahwa satuan kalimat dalam adzan telah diajarkan langsung oleh Jibril pada Rasulullah SAW tanpa melalui seorang sahabat, karena hadis semacam itu hanya akan lebih menonjolkan sahabat daripada Rasul SAW, yang telah dipilih oleh Allah SWT untuk dijadikan orang nomor satu di dunia, dapat dipastikan kalau sahabat lebih dahulu mengetahui tentang kalimat adzan ketimbang Rasulnya, kemudian sahabat tersebut mengajarkannya pada Rasulullah SAW, maka yang lebih mulia adalah yang lebih dahulu mengetahuinya dan yang menjadi guru di antara keduanya. Dan mustahil yang diutus lebih rendah dari pengikutnya.

Ada beberapa hadis yang diriwayatkan oleh keluarga Rasul SAW sendiri (Imam Ahlul Bait AS) yang dengan jelas membantah keberadaan hadis semacam diatas, diantara kandungannya:
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muhammad  bin Ya’qub dari ayahnya dari Imam Muhammad al-Baqir as, berkata: “Saat Nabi SAW Isra Mi’raj dan sampai ke Baitul Ma’mur dan tiba saat shalat, Jibril AS adzan kemudian iqomat, lalu Rasul maju ke depan, malaikat dan seluruh para Nabi bershaf (berbaris) dibelakang Beliau SAW”.
Hadis berikut yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Makky dari Ibnu Abi Aqil dari Imam Ja’far Shadiq AS,: “Bahwa Beliau mengutuk orang yang mengatakan bahwa Nabi SAW mendapatkan (kalimat-kalimat) adzan dari Abdillah bin Zaid, kemudian Beliau menjelaskan: Wahyu turun pada Nabi kalian, kemudian kalian mengatakan bahwa Nabi SAW mendapatkan adzan dari Abdillah bin Zaid. Dengan adanya beberapa hadis diatas jelaslah bagi pembaca akan mustahilnya kalau Nabi SAW mendapatkan kalimat adzan dari sahabatnya, dan hadis semacam itu perlu diteliti kembali kebenarannya”.

Akhir dari yang dapat kita simpulkan adalah, Ashalatu mi’raji mukminin shalat adalah munajatnya orang-orang mukmin, maka melalui banyak pembahasan mendasar diatas, yang secara khusus adalah perintah Allah tentang shalat lima puluh kali dan diakhiri pula dengan witir, semestinya sudah cukup rasional jika diterjemahkan dalam hitungan rakaat (17 rakaat fardhu dan 34 rakaat sunah rawatib). Apalagi ketetapan “Ucapan”  Allah tidak pernah berubah, dan bukan untuk lima puluh  waktu pula (yang dalam hitungan jam, menit, detik) dalam sehari semalam tidak akan pernah dapat kita rasionalkan. Artinya perintah lima puluh kali sehari semalam “QS. Huud: 114; Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan yang buruk. Itulah peringatan orang-orang yang ingat” adalah sebuah ketetapan kepada hamba untuk bermi’raj atau bermunajat dalam satu atau setiap kali berdiri, rukuk, iktidal, sujud, dan duduk antara dua sujud sebagaimana yang kita fahami sebagai bagian tertentu dari shalat yang terdiri dari beberapa rukun fi’il (Baca: Fi’li).

 Yang jelas, inilah hasil kesimpulan permasalahan yang dapat kami rasionalkan (mengkaji literatur) ketika perkara awal penetapan shalat menjadi bahan diskusi kala mengisi waktu kosong di ruang Humas Setda Halbar bersama beberapa kawan-kawan SKPD sambil join kopi,,, sukur dofu jo; Ondes, Acong, Ris, Ai, Cakil deng khususnya Wawan Malut Post yang so muat torang pebacarita... Wassalam wa’rahmah – wa’barakah... jo ngon moi-moi.